II.
PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang lahirnya demokrasi
terpimpin
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia
antara tahun 1959-1965, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
hingga jatuhnya kekuasaan Sukarno. Latar belakang dicetuskannya sistem
Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno : dari segi keamanan yaitu banyaknya
gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di
bidang keamanan. Dari segi perekonomian yaitu sering terjadinya pergantian
kabinet pada masa Demokrasi Liberal menyebabkan program-program yang dirancang
oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi
tersendat. Sedangkan dari segi politik yaitu konstituante gagal dalam menyusun
UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Konsepsi Demokrasi terpimpin
Presiden Soekarno yang disampaikan pada tanggal 21 Februari I957 berisi:
1. Bahwa
Demokrasi Liberal secara barat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin
2. Dibentuknya
kabinet gotong royong yang terdiri dari wakil-wakil dari partai-partai ditambah
dengan golongan fungsional
3. Dibentuknya
Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil partai dan golongan fungsional
dari masyarakat.
Masa Demokrasi Terpimpin yang
dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran beliau agar
Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD'45. Namun
usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai
tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante. Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil
voting menunjukan bahwa :
§ 269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45
§ 119 orang tidak setuju untuk kembali ke
UUD'45
Melihat dari hasil voting, usulan
untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh
jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3
bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak dari
hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Isi
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
1. Tidak
berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
2. Pembubaran
Badan Konstitusional
3. Membentuk
DPR sementara dan DPA sementara
Dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959 diganti
dengan Kabinet Kerja. Program Kabinet meliputi keamanan dalam negeri,
pembebasan Irian Jaya, dan sandang pangan. Dengan Penetapan Presiden No.2 tahun
1959, dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang
anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
1. Setuju
kembali kepada UUD 1945
2. Setia
kepada perjuangan RI, dan
3. Setuju
dengan Manifesto Politik
Keanggotaan MPRS terdiri atas
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan wakil-wakil
golongan. Tugas MPRS adalah menetapkan garis-garis besar haluan negara sesuai
pasal 2 UUD 1945.
Presiden juga membentuk Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden sendiri, mempunyai
kewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul
kepada Pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 1945). DPA dilantik pada tanggal 15
Agustus 1959. DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya
dengan landasan UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang dilakukan
oleh pemerintah, sampai tersusun DPR baru. Semula nampaknya anggota DPR lama
akan mengikuti saja kebijaksanaan Presiden Sukarno, akan tetapi ternyata
kemudian mereka menolak Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh
pemerintah. Penolakan Anggaran Belanja Negara tersebut menyebabkan
dikeluarkannya Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, yang menyatakan pembubaran
DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Tindakan itu disusul dengan usaha
pembentukan DPR baru. Dan pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Sukarno telah
selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Para anggota DPR-GR yang baru itu dilantik pada tanggal
25 Juni 1960. Komposisi DPR-GR terdiri dari anggota golongan Nasionalis, Islam,
dan Komunis dengan perbandingan 44:43:30. Peraturan-peraturan dan
tata-tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden. Tugas DPR-GR adalah melaksanakan
Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi
Terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1961 Presiden Sukarno menjelaskan lagi
kedudukan DPR-GR yaitu bahwa DPR-GR adalah pembantu Presiden/Mandataris MPRS
dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu
yang ditetapkan oleh MPRS.
Presiden Sukarno pada upacara
bendera Hari Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1959 mengucapkan pidato yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam sidangnya pada bulan September
1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden
tanggal 17 Agustus tersebut dijadikan garis-garis besar haluan negara, dan
dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Usul DPA itu diterima
baik oleh Presiden Sukarno. Dan pada sidangnya pada tahun 1960, MPRS menetapkan
Manifesto Politik itu menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam
Ketetapan itu diputuskan pula, bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960
dengan judul: “Jalannya Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September
di muka Sidang Umum PBB yang berjudul To build the world anew (Membangun dunia
kembali) merupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik. Terhadap
perkembangan politik itu pernah ada reaksi dari kalangan partai-partai, antara
lain dari beberapa pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan dari PNI. Reaksi juga datang
dari Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat
Indonesia. Sutomo mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan suratnya
tanggal 22 Juni 1960.
Sutomo
menuduh kabinet bertindak sewenang-wenang dan mengemukakan beberapa fakta
sebagai berikut:
1. Paksaan
untuk menerima Manipol dan Usdek, tanpa diberi tempo terlebih dahulu untuk
mempelajarinya
2. Paksaan
supaya diadakan kerja sama antara golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis
3. Paksaan
pembongkaran Tugu Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta
Memang di kalangan partai-partai
terdapat variasi sikap dan pendapat. Pelbagai tokoh partai menggabungkan diri
dalam Liga Demokrasi yang menentang pembentukan DPR-GR. Liga Demokrasi diketuai
oleh Imron Rosyadi dari NU, tergabung beberapa tokoh NU, Parkindo, Partai
Katholik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret 1960
Liga tersebut mengeluarkan satu pernyataan yang antara lain menyebutkan: supaya
dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh sebab itu, hendaknya
rencana pemerintah untuk membentuk DPR-GR yang telah diumumkan tersebut,
ditangguhkan. Adapun sebagai alasan dikemukakan antara lain:
1. Perubahan
perimbangan perwakilan golongan-golongan dalam DPR-GR, memperkuat pengaruh dan
kedudukan suatu golongan tertentu
2. DPR
yang demikian pada hakekatnya adalah DPR yang hanya akan meng-ia-kan saja,
sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat
3. Pembaharuan
dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan dengan
azas-azas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang
Kegiatan Liga Demokrasi tersebut
hanya nampak pada waktu Presiden Sukarno berada di luar negeri. Setibanya
Presiden di tanah air, beliau segera melarang Liga Demokrasi. Tindakan Presiden
Sukarno selanjutnya adalah mendirikan Front Nasional, yaitu suatu organisasi
massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung
dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Sukarno sendiri.
Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). MPPR
beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR), dalam
mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi.
Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR,
departemen-departemen, angkatan-angkatan dan wakil dari organisasi Nasakom.
Badan ini langsung berada di bawah Presiden.
Dalam periode Demokrasi Liberal dan
Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan
dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia. Kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Sukarno
dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Sehubungan dengan strateginya yang
“menempel” pada Presiden Sukarno, PKI secara sistematis berusaha memperoleh
citra sebagai Pancasilais dan mendukung ajaran-ajaran Presiden Sukarno yang
menguntungkannya.
TNI-AD mensinyalir adanya
tindakan-tindakan pengacauan yang dilakukan PKI di Jawa Tengah (PKI
malam). TNI pun bertindak dengan
melakukan pengawasan terhadap PKI, namun Presiden Sukarno justru memerintahkan
agar segala keputusan itu dicabut kembali. Pidato-pidato Presiden Sukarno yang
berjudul Resopim, Takem, Gesuri, Tavip, Takari jelas menggambarkan sikap
politik Presiden Sukarno yang cenderung kepada TKI dan membuat PKI untuk
menyudutkan TNI-AD sebagai pihak yang sumbang suaranya. Puncak dari kegiatan
PKI adalah meletusnya Pemberontakan G 30 S/PKI.
2.2 Kehidupan politik pada masa
demokrasi terpimpin
Soekarno dengan konsep Demokrasi
Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat
menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi
Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk
membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada
akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai
politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan
kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu
kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu
berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun
demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang
labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno
untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin,
parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai
lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang
didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat
lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya.
Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam
tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat
dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut
agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan
komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya
sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU
dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada
segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk
yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai politik dalam pergerakannya
tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden
(Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja
yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya.
Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan
lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya
lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan
Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari
partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang
dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi
dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai
politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat
dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam penggambaran kiprah partai
politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan
serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa
itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan
Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan
partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini
tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah pemimpin mudanya,
antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara,
baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya
dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir
periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang
anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi
pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Hubungan antara PKI dan Soekarno
sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal
balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada
bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini
mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam
Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi
antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain,
seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap
sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah
belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno
dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI
untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan
PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat,
membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi
itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Seperti yang telah disebutkan di
atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin mengalami pembubaran secara
paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya
Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959.
Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
1. Menerima
dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila
2. Menggunakan
cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3. Menerima
bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah
4. Partai-partai
harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah
daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya
seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia
5. Presiden
berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai
6. Presiden
berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik
pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang
membantu pemberontakan.
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada
10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres
No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai
Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No.
129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional
Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya
melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
Demikianlah kehidupan partai-partai
politik di masa Demokrasi Terpimpin. Partai-partai tersebut hampir tidak bisa
memainkan perannya dalam pentas perpolitikan nasional pada masa itu. Hal ini
dimungkinkan antara lain oleh peran Soekarno yang amat dominan dalam
menjalankan pemerintahannya dengan cirinya utamanya yang sangat otoriter pada
waktu itu di era demokrasi terpimpin.
2.3 Kehidupan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin
Seiring dengan perubahan politik
menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti ekonomi terpimpin.
Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana
semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara
daerah merupakan kepanjangan dari pusat.
2.3.1 Pembentukan Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas)
Untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional
(Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota
berjumlah 50 orang.
Tugas
Depernas adalah:
a. Mempersiapkan
rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana
b. Menilai
Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai dalam waktu 1
tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan
Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS. Mengenai
masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam
bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai
harapan.
Pada
tahun 1963, Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan
Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Tugas
Bappenas adalah:
a. Menyusun
rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah
b. Mengawasi
dan menilai pelaksanaan pembangunan
c. Menyiapkan
serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS
2.3.2
Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)
Tujuan
dilakukan Devaluasi :
a. Guna
membendung inflasi yang tetap tinggi
b. Untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
c. Meningkatkan
nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Maka
pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai penuruan
nilai uang (devaluasi) yang diatur dalam Peraturan Pemerintan Pengganti
Undang-Undang No.2 dan No.3 tahun 1959, yaitu sebagai berikut:
a. Uang
kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
b. Uang
kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
c. Pembekuan
semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi
usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang
memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat
dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini disebabkan karena
:
a. Penghasilan
negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang
menyebabkan ekspor menurun
b. Pengambilalihan
perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja
manajemen yang cakap dan berpengalaman
c. Pengeluaran
biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan
kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
2.3.3
Kenaikan laju inflasi
Latar
Belakang meningkatnya laju inflasi :
a. Penghasilan
negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan
b. Nilai
mata uang rupiah mengalami kemerosotan
c. Anggaran
belanja mengalami defisit yang semakin besar
d. Pinjaman
luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
e. Upaya
likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
f.
Penertiban administrasi dan manajemen
perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh
g. Penyaluran
kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan mengalami kegagalan
Kegagalan-kegagalan tersebut
disebabkan karena:
a. Pemerintah
tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran
b. Pemerintah
menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New
Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang
memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampaknya
:
a. Inflasi
semakin bertambah tinggi
b. Harga-harga
semakin bertambah tinggi
c. Kehidupan
masyarakat semakin terjerpit
d. Indonesia
pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca
pembayaran dari cadangan emas dan devisa
e. Ekspor
semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa
f.
Pada tahun 1965, cadangan emas dan
devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai
dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
Kebijakan
pemerintah :
a. Keadaan
defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan
uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi
b. 13
Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang
senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1
Dampaknya
dari kebijakan pemerintah tersebut :
a. Uang
rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih
tinggi dari uang rupiah baru
b. Tindakan
moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya
angka inflasi.
2.3.4
Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Latar
belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena:
a. Berbagai
peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive)
mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (BE)
b. Sulitnya
memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negri sehingga pembangunan yang
direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan
baik
Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu
Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya. Dekon dinyatakan
sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi
umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan
Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal
13 Agustus 1960.
Tujuan utama dibentuk Dekon adalah
untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari
sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan
cara terpimpin.
Pelaksanaannya:
a. Peraturan
tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi
b. Dekon
mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia
c. Kesulitan-kesulitan
ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga barang mencapai
400 % pada tahun 1961-1962
d. Beban
hidup rakyat semakin berat.
Kegagalan
Peraturan Pemerintah disebabkan karena:
a. Tidak
terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400
juta
b. Adanya
masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan Singapura dan
Malaysia dalam rangka kasi Dwikora
c. Politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin memperparah kemerosotan
ekonomi Indonesia.
2.3.5
Meningkatkan Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa
Demokrasi Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan hakekatnya tidak
berbeda sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha
kecil, hanya saja kredit luar negeri ini berskala nasional dan menyangkut hajat
hidup seluruh rakyat Indonesia. Dalih perkreditan luar negeri pada masa ini
adalah mengarrangement dan readjustment dengan negara-negara kreditor. Dan
sementara itu masyarakat Indonesia pada umumnya masih beranggapan bahwa hutang
adalah identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara
Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral
tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam
perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan
ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet.
Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada hakekatnya adalah
pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali sebagai
barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri.
Dalam hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil
yang dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan
tetapi di Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil
keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa
kebijaksanaan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia
ke dalam lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam
pemberontakan G 30 S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai
proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Sukarno mengeluarkan
Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964,
yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana
revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan
uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan
deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan
kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Dalam
praktek, barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment khusus
itu adalah barang-barang yang tidak membawa manfaat bagi rakyat banyak, bahkan
sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan bahan spekulasi dalam
perdagangan, misalnya scooter dan barang-barang lux lainnya. Pada umumnya yang
mendapat izin deferred payment ini adalah yang disponsori oleh Presiden Sukarno
sendiri. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
a. Hutang-hutang
negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun terus
b. Devisa
menipis karena ekspor menurun sekali
c. Hutang
luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan
d. RI
tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan
adanya insolvensi internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa
negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
2.3.6
Kebijakan lain pemerintah
a.
Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi
(KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17
April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan
Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.
b.
Peleburan bank-bank negara
Presiden berusaha mempersatukan
semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal
Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965.
Tugas bank tersebut adalah sebagai
bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut
maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan
(BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam
Bank Indonesia. Akhirnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam
beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Namun tindakan itu
menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab
tidak ada lembaga pengawas.
Kegagalan
pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena:
a. Semua
kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penuruan yang
disertai dengan infasi
b. Masalah
ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan
cara-cara politis
c. Kemenangan
politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan
tanpa memperhatikan ekonomi)
d. Peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu peraturan
dengan peraturan yang lainnya
e. Tidak
ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha
f.
Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan
dan salah urus
g. Kebrangkutan
tidak dapat dikendalikan, Masyarakat mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan
kriminalitas
2.4 Kehidupan sosial budaya pada
masa demokrasi terpimpin
2.4.1 Pendidikan
Murid-murid sekolah lanjutan pertama
dan tingkat atas pada tahun 1950-an jumlahnya melimpah dan berharap menjadi
mahasiswa. Mereka ini adalah produk pertama dari system pendidikan setelah
kemerdekaan. Universitas baru didirikan di ibukota propinsi dan jumlah fakultas
ditambah meskipun kekurangan tenaga pengajar. Perguruan tinggi swasta semakin
banyak terutama tahun 1960. Eksplosi pendidikan tinggi ini disebabkan meluasnya
aspirasi untuk menjadi mahasiswa.
Untuk memenuhi keinginan golongan
islam didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sedangkan umat Kristen dan
katolik didirikan sekolah Tinggi Theologia serta seminari-seminari. Sistem
penerimaan mahasiswa yang mudah dan pembebasan biaya kuliah menyebabkan
peningkatan jumlah mahasiswa besar-besaran. Penambahan mahasiswa mencapai
seratus ribu dengan perguruan tinggi 181 buah pada tahun 1961.
Sejak tahun 1959 dibawah menteri P
dan K Prof. Dr. Prijono disusun suatu rencana pengajaran yang disebut Sapta
Usaha Tama, yang meliputi :
1. Penertiban
aparatur dan usaha-usaha Departemen P dan K
2. Meningkatkan
seni dan olahraga
3. Mengharuskan
usaha halaman
4. Mengharuskan
penabungan
5. Mewajibkan
usaha-usaha koperasi
6. Mengadakan
kelas masyarakat
7. Membentuk
regu kerja di kalangan SLTP/SLTA dan Universitas
Sejak tahun 1962 sistem pendidikan
SMP dan SMA mengalami perubahan dalam kurikulum SMP baru di tambahkan mata
pelajaran ilmu administrasi dan kesejahteraan masyarakat. Sistem pendidikan SMA
di lakukan penjurusan mulai kelas II jurusan di bagi menjadi kelas budaya,
soiial, ilmu pasti dan alam. Melihat
pembagian di SMA seperti itu menunjukkan mereka dipersiapkan untuk memasuki
peguruan tinggi. Tentang penyelenggaraan seni dan olah raga ditentukan kewajiban
mempelajari dan menyanyikan 6 lagu nasional selain lagu kebangsaan Indonesia
Raya. Olah raga sepak bola dan bola volley banyak dikembangkan.
Yang dimaksud Usaha halaman adalah
usaha yang dapat dilakukan di halaman sekolah maupun rumah, yang hasilnya dapat
dibuat sebagai penambah pangan. Usaha halaman sekolah berlaku untuk semua
tingkat sekolah negeri maupun swasta.
Gerakan menabung bagi setiap murid
dilakukan pada bank tabungan pos, kantor pos, kantor pos pembantu. Cara
penabungan di atur oleh departemen P dan K bersama dengan Direksi Bank Tabungan
Pos. usaha ini untuk mendidik anak berhemat selain untuk pengumpulan dana
masyarakat. Gerakan koperasi sekolah juga digiatkan. Murid aktif dalam
penyelenggaraan koperasi. Kepala sekolah dan guru sebagai pengawas dan
penasehat koperasi.
Suatu kelas masyarakat yang waktu
pendidikannya 2 tahun dibentuk untuk menampung lulusan sekolah rakyat yang
karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolah. Mereka dididik dalam kelas
masyarakat ini untuk mendapat ketrampilan.
Sekitar tahun 1960-an dikalangan
pendidikan muncul masalah yakni usaha PKI untuk menguasai organisasi profesi
guru “Persatuan Guru Replubik Indonesia” (PGRI). Hal ini menimbulkan perpecahan
dikalangan guru dan PGRI. Perpecahan
PGRI bertepatan dengan dilancarkannya system pendidikan baru oleh menteri PP
dan K. system baru itu adalah Pancasila dan Pancawardhana. Adapun sistem
Pancawardhana atau lima pokok penjabarannya :
1.
Perkembangan cinta bangsa dan tanah air,
moral nasional /internasional/keagamaan
2.
Perkembangan intelegensi
3.
Perkembangan nasional-artistik atau rasa
keharusan dan keindahan lahir dan batin
4.
Perkembangan keprigelan ( kerajinan
tangan )
5.
Perkembangan jasmani.
2.4.2
Komunikasi Massa
Surat
kabar dan majalah yang tidak seirama dengan Demokrasi Terpimpin, harus
menyingkir dan tersingkir. Persyaratan untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit dan
Surat Ijin Cetak (SIT) diperketat. Sejak tahun 1960, semua penerbit wajib
mengajukan permohonan SIT dengan dicantumkan 19 pasal yang mengandung
pertanggungjawaban surat kabar/majalah tersebut.
Pedoman resmi untuk penerbitan surat
kabar dan majalah diseluruh Indonesia, dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960
yang ditanda tangani oleh Ir. Juanda selaku Pejabat Presiden. Pedoman yang berisi
19 pasal tersebut mudah digunakan penguasa untuk menindak surat kabar/majalah
yang tidak disenangi. Maka satu demi satu penerbit yang menentang dominasi PKi
di cabut SITnya. Yakni, Harian Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star
Weekly dan sebagainya. Surat kabar Abadi lebih memilih menghentikan penerbitan
daripada menandatangani persyaratan 19 pasal itu. Dengan semakin sedikitnya
pers Pancasila yangb masih hidup, dapat digambarkan betapa merajalelanya Surat
Kabar PKI seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti.
Melalui Harian Rakyat surat kabar
resminya, pimpinan PKI memimpin propaganda untuk menyingkirkan lawan
politiknya. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) satu-satunya organisasi profesi
wartawan yang ada dan diakui pemerintah, didominasi oleh golongan komunis dan
satelit-satelitnya. Karena itu wartawan diluar kubu komunis tidak bisa bergerak
karena terkepung. Bahkan Departemen Penerangan akhirnya dapat digiring kepada
sikap mendukung garis yang diajukan PKI.
Sajuti
Melik menyebarluaskan ajaran-ajaran Bung Karno yang murni (belum dipengaruhi
oleh komunisme) dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar dengan jdul
tulisan “Belajar Memahami Soekarnoisme”. Isi pokok tulisan Sajuti Melik ialah
“Tidak setuju Nasakom”, melainkan setuju Nasasos. Maksudnya ialah untuk
mengingatkan berbagai pihak akan ajaran-ajaran Bung Karno yang semula. Dengan
demikian diharapakan untuk membendung penyimpangan-penyimpangan oleh PKI
terhadap ajaran-ajaran itu. Pada mulanya tulisan itu di muat oleh Suluh
Indonesia, Koran PNI, dan dari Koran itu di kutip oleh harian dan majalah lain.
Tapi setelah ada protes keras dari PKI, maka dihentikan pemuatannya oleh Suluh
Indonesia. Berdasarkan tulisan sajuti Melik ini, berdirilah Badan Pendukung
Soekarnoisme (BPS). Pengurus BPS adalah ketua : Adam Malik; Wakil Ketua : B. M.
Diah; Ketua Harian : Sumantoro; Wakil Ketua Harian : Junus Lubis; Sekretaris
Umum : Drs. Asnawi Said; Bendahara : Sunaryo Prawiroadinata; Biro Dalam Negeri
: Sugiarso; Biro Luar Negeri : Zain Effendi AI; Penghubung : Adyatman. BPS
terbukti mendapat dukungan luas dalam masyarakat, dilain pihak mendapat
tantangan dari PKI. Melalui surat kabar, rapat-rapat dan demonstrasi PKI
menfitnah BPS dengan slogan to kill Soekarno With Soekarnoisme.
Pemerintah Soekarno pada saat itu
mendapat tekanan dari golongan komunis untuk menindak BPS. Pada akhirnya
Presiden Soekarno, selaku pemutus terakhir turun tangan. Keputusan yang di
ambil Presiden Soekarno pada bulan februari 1965 ialah: “ …melarang semua aktivitas
BPS dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS”. Ini berarti BPS bubar.
Akibat
dilarangnya Koran pendukung BPS banyak karyawan pers yang dengan itikat baik
hendak menyebarkan ajaran Bung Karno menurut tafsiran yang murni dan bukan
tafsiran Komunis., kehilangan nafkahnya.
2.4.3
Kehidupan Budaya
Sesuai dengan semboyan PKI “ politik
adalah panglima” maka seluruh kehidupan
masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus
diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel
besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan
dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) atau
satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim atau
agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan
tangan mereka.
Realisme
sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk
menjadi doktrin di Indonesia juga. Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih
represif dari pada persuasive seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop
untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat
oleh masyarakat pada bidang budaya adalah heboh mengenai Manifes Kebudayaan dan
Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI).
Sesungguhnya isi dari Manifes Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar
biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme universal yang timbul dalam
masyarakat liberal yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif.
PKI tidak serta merta menyerang manifes tersebut akan tetapi berselang 4 bulan
setelah kemunculannya baru mulai angkat senjata. Hal ini terjadi karena para
sastrawan Pancasilais baik yang mendukung manifes kebudayaan maupun tidak
sedang menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia (KKPI). PKI menganggap bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman
bagi mereka akan tetapi suatu pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya
yang harus segera ditumpas sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang
sudah menyiapkan KKPI memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah melakukan pengaman secukupnya baik berupa
konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan kekuatan-kekuatan
pancasilais. Setelah kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI)
barulah PKI mulai mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi KKPI dan
PKPIdengan manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap
manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam dalam
Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baru. PKI menganggap manifest kebudayaan
sebagai bentuk penyelewengan dari revolusi Indonesia yang berporos pada soko
guru tani, buruh dan prajurit. Di lain sisi PKI mendukung penuh gagasan
manifest politik karena dalam ide-ide tersebut terdapat penyesuaian gagasan
sikap politik budaya dari perjuangan komunisme. Manifes kebudayaan dianggap
mengesampingkan manifest politik karena memisahkan antara politik dan
kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah mempengaruhi massa,
serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan dan KKPI tidak ada
hentinya dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi politik. Serangan
lewat media mass media, aksi turun kejalanberdemonstrasi dilakukan oleh
penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden Soekarno sehingga pada
ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan (PTIP) yang ke-3
menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan molotan untuk
menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik. Pidato Presiden
Soekarno tentang Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk pentrapan bagi
konsumsi rakyat. Dalam pidato ini Presiden soekarno mengecam adanya kebudayaan
barat yang diasosiasikan dengancita-cita imperialism barat. Kekuatan Pki
setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI dapat keluar
masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden soekarno mengeeluarkan larangan
terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik republic Indonesia sebagai
pancaran pancasiala telah menjadi garis besar haluan negara tidak mungkin
didampingi manifesto lain apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap
ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri disampingnya. Pernyataan
Presiden Soekarno yang menganggap pendukung manifest kebudayaan bertentangan
dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang sangat berbahasa pada saat itu.
Pencetus utama manifest kebudayaan H.B Jassin, wiratmo Sukitodan Trisno
sumardjo merasakan ahwa mereka harus membuat suatu pernyataan berkenaan dengan
perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk menjelaskan posisi manifesto
kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa yang digerakkkan PKI. Oleh
sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh tersebut menanggapi larangan
Presiden Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar angka korban yang jatuh akibat
dukungan kepada manifest kebudayaan tidak meningkat.
Pada tanggal 27 Agustus-2 September
1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di
Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan bulan Maret
lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah kekuasaaan
PKI. Dengan demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi
PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan
oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran berharga
bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga senjata berupa organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Karim
Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik Di
Indonesia: Sebuah Potret Pasang- Surut.
Jakarta: Rajawali Pers.
Maarif
Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik:
Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959—1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Marwati
Djoened Poesponegoro dkk. 1993 Sejarah
Nasional Indonesia jilid VI. Jakarta:
Depdikbud-Balai Pustaka.
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
Halo, saya Ny. Sandra Ovia, pemberi pinjaman pribadi uang, apakah Anda berutang? Anda membutuhkan dorongan keuangan? pinjaman untuk membangun bisnis baru, untuk memenuhi tagihan Anda, memperluas bisnis Anda di tahun ini, renovasi rumah Anda dan kami juga memberikan pinjaman BITCOIN dengan suku bunga sangat rendah 2%. Anda dapat menghubungi kami melalui Email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda dipersilakan ke perusahaan pinjaman kami dan kami akan memberikan yang terbaik dari layanan kami.