II.
PEMBAHASAN
2.1 Pelet Kandhung
Secara harfiah
pelet kandhung (peret kandhung, pelet betteng, salameddhan kandhungan) punya arti pijat kandungan. Pelet Kandhung adalah upacara yang diadakan ketika usia kandungan seseorang telah
mencapai tujuh bulan. Sebelum upacara diadakan, pada
bulan pertama saat seorang perempuan mulai mengandung, diadakan upacara nandai.
Pada saat upacara nandai selesai, akan ditaruh sebiji bigilan atau beton (biji
nangka) di atas sebuah leper (tatakan cangkir) dan diletakkan di atas meja.
Setiap bulannya, di leper itu ditambah satu biji bigilan sesuai dengan hitungan
usia kandungan perempuan tersebut. Pada saat di atas leper itu telah ada tujuh
biji bigilan yang menandakan bahwa usia kandungan telah mencapai tujuh bulan,
maka diadakanlah upacara pelet kandhung. Sebagai catatan, upacara masa
kehamilan yang disebut sebagai pelet kandhung ini diadakan secara meriah hanya
pada saat seorang perempuan mengalami masa kehamilan untuk yang pertama
kalinya. Pada masa kehamilan yang kedua, ketiga, dan seterusnya, upacara pelet
kandhung tetap diadakan, namun tidak semeriah upacara pada saat mengalami
kehamilan untuk pertama kalinya. Sebagaimana upacara pada umumnya.
2.2 Peralatan Upacara
Pelet Kandhung
Peralatan
dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara
pelet kandhung adalah:
1)
Kain putih sepanjang 1½ meter yang nantinya akan digunakan sebagai
penutup badan perempuan yang akan diupacarai pada saat dimandikan
2)
Air satu penay (belanga)
3)
Berbagai jenis bunga (biasanya 40 jenis bunga) untuk campuran air
mandi. Air dalam penay dan berbagai jenis bunga (komkoman) mengandung makna
kesucian dan keharuman
4)
Gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting
pohon beringin yang masih ada daunnya
5)
Sebutir telur ayam yang masih mentah dan sebutir lagi yang sudah
direbus
6)
Satu leper ketan kuning yang sudah masak
7)
Seekor ayam muda
8)
Minyak kelapa
9)
Kemenyan Arab
10)
Setanggi
11)
Uang logam
12)
Sepasang cengker kelapa gading yang digambari Arjuna dan Sembodro
serta dibubuhi tulisan Arab atau Jawa
13)
Berbagai macam hidangan untuk arasol (kenduri) yang berupa: kue
procut, ketan kuning yang dibalut daun berbentuk kerucut, jubada (juadah), lemeng (ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari
ketan), minuman cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen).
2.3 Tahapan dan Tempat Upacara Pelet Kandhung
Tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam upacara ini
adalah sebagai berikut:
1) Tahap pelet kandhung (Pijat perut)
2) Tahap penyepakan ayam
3) Tahap penginjakan kelapa
muda dan telur
4) Tahap pemandian
5) Tahap orasol (Kenduri).
Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan pada malam bulan
purnama setelah sholat Isya, dengan pertimbangan bahwa malam bulan purnama
adalah malam yang dirahmati Tuhan dan para peserta upacara telah terlepas dari
rutinitas keseharian mereka.
Tempat pelaksanaan upacara pelet kandhung bergantung
dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pelet kandhung,
penyepakan ayam, penginjakan telur ayam dan kelapa muda, dilakukan di dalam
kamar atau bilik orang yang sedang mengandung. Untuk prosesi pemandian dilakukan di
kamar mandi atau di halaman belakang rumah. Upacara ini dipimpin oleh seorang
dukun bayi
(dukun beranak) dan dibantu oleh agung bine atau emba nyae (nenek dari
perempuan hamil yang sedang diupacarai). Sedangkan, acara kenduri dilaksanakan
di ruang tamu dan dipimpin oleh seorang kyae atau ulama setempat. Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam upacara pelet kandhung adalah ayah, ibu serta sanak kerabat dari
perempuan yang hamil itu maupun orang tua dan sanak kerabat dari pihak
suaminya. Di samping sanak kerabat tersebut, hadir pula para tetangga yang
sebagian besar adalah perempuan dewasa atau yang sudah kawin.
2.4 Jalannya Upacara Pelet
Kandung
Jalannya upacara pelet kandhung
dilakukan pada hari yang telah ditentukan dan semua
peserta upacara telah berkumpul di rumah perempuan yang akan diupacarakan. Upacara
diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an (Surat Yusuf dan Maryam) oleh para undangan
laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kyai. Sementara mereka membaca ayat-ayat
Al Quran, di dalam bilik perempuan yang mengandung itu mulai dilaksanakan prosesi
pelet kandhung. Dukun bayi mulai memelet atau memijat bagian perut perempuan tersebut dengan
menggunakan minyak kelapa. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengatur posisi bayi didalam kandungan.
Saat
si perempuan hamil sedang dipelet, para kerabatnya yang
perempuan, mulai dari emba nyae (nenek), matowa binek (mertua perempuan), ebu
majhedik (adik perempuan ayah dan ibunya), dan epar binek (saudara ipar
perempuan), secara bergantian mendatangi dan mengusap perutnya sambil memanjatkan
doa dan harapan agar si perempuan
serta bayi yang di kandung selalu dalam lindungan Tuhan.
Usai di pelet, perempuan hamil tersebut dibimbing
oleh sang dukun bayi ketempat seekor ayam yang sebelumnya
telah diikat pada salah satu kaki tempat tidur. Saat berada di dekat ayam, si
perempuan hamil diharuskan untuk menyepak hingga sang ayam kesakitan dan
berbunyi “keok”. Selanjutnya ayam yang masih terikat itu dilepaskan dan
dikurung di belakang rumah. Apabila upacara telah selesai, ayam itu akan
diserahkan kepada dukun bayi sebagai ucapan terima kasih.
Selesai
menyepak ayam, perempuan hamil itu kemudian diselimuti dengan kain putih,
dan diminta untuk
menginjak sebutir kelapa muda dengan kaki kanan. Selanjutnya, ia diminta lagi
untuk menginjak telur mentah dengan kaki kiri. Apabila telur berhasil
dipecahkan, maka bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin
laki-laki. Namun, apabila telur tidak berhasil dipecahkan, sang dukun akan
mengambil dan menggelindingkannya dari perut perempuan hamil itu. Saat telur pecah, orang-orang yang
hadir diruangan itu serentak berucap “jebing, jebing”,
yang mengandung makna bahwa kelak bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis
kelamin perempuan. Selanjutnya, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh dukun bayi ke belakang rumah untuk
menjalani prosesi pemandian. Ia kemudian didudukkan di sebuah bangku kayu yang
rendah dan di dekatnya disediakan air komkoman pada sebuah periuk tanah.
Setelah itu, sang dukun bayi sambil memegang gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan
ranting beringin, memasukkan uang logam ke dalam komkoman dan mulai memandikan perempuan
hamil itu. Sesudah dukun selesai mengguyur, maka satu-persatu perempuan kaum
kerabatnya mulai bergiliran mengguyur hingga air di dalam komkoman habis. Selesai
dimandikan, ia dibawa masuk lagi ke kamarnya untuk dirias dan dipakaikan busana
yang paling bagus. Kemudian, ia dibawa menuju ke ruang tamu untuk di perlihatkan kepada para hadirin. Saat itu, para hadirin akan mengucapkan kata-kata “radin, radin”,
yang artinya “cantik”. Ucapan itu dimaksudkan sebagai persetujuan hadirin bahwa
pakaian yang dikenakannya sudah serasi dan sesuai. Setelah itu, acara
diteruskan dengan penyerahan dua buah cengker yang telah digambari Arjuna dan
Sembodro kepada Kyae untuk didoakan. Setelah selesai pembacaan doa yang diamini
oleh segenap yang hadir, Kyae lalu menyerakan kedua cengker tersebut kepada
matowa binek
untuk diletakkan di tempat tidur menantu perempuannya yang sedang hamil itu.
Sebagai catatan, cengker itu tetap ditaruh di tempat tidur hingga si perempuan
melahirkan bayinya. Adanya cengker di sisi tempat tidurnya, maka sejak saat itu
suaminya tidak diperkenankan lagi menggauli hingga bayi yang dikandungnya lahir dan telah berumur 40 hari.
Selanjutnya
perempuan hamil itu dibawa masuk lagi ke dalam kamarnya
dan diberi minum jamu dek cacing towa yang ditempatkan dalam sebuah
cengkelongan (tempurung gading). Setelah jamu dek cacing towa diminum, maka
cengkelongan itu segera dilemparkan ke tanean (halaman). Apabila cengkelongan
jatuhnya tertelentang, maka bayi yang akan lahir diperkirakan berjenis kelamin
laki-laki, sedangkan apabila
tertelungkup, maka bayi yang akan lahir diperkirakan akan berjenis kelamin
perempuan. Setelah itu si perempuan
hamil disuapi dengan sedikit nasi ponar (nasi kuning),
ketan yang diberi warna kuning dan telur rebus. Makanan itu tidak dimakan
sampai habis. Dengan berakhirnya tahap pemberian nasi ponar ini, berakhirlah
seluruh rentetan upacara pelet
kandhung.
Sebagai catatan, sejak
saat diadakan upacara nandai, pelet kandhung, hingga melahirkan, perempuan yang
sedang hamil itu harus mematuhi berbagai macam pantangan, baik pantangan
memakan makanan tertentu maupun pantangan melakukan perbuatan tertentu.
Pantangan yang berupa makanan diantaranya adalah: pantang memakan juko lake
(sejenis binatang yang bersengat), kepiting, bilang senyong, me eme parsong
(sejenis cumi-cumi), daging kambing, ce cek (kerupuk rambak), petis, nanas muda, durian, tepu,
mangga kweni lembayung, dan plotan lembur. Apabila pantangan ini dilanggar,
maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti: keguguran, bayi yang
dikandung terkena saben (sawan), proses melahirkan tidak lancar, dan banyak
darah yang keluar pada saat
melahirkan.
Sedangkan
pantangan yang berupa tindakan atau perbuatan
diantaranya adalah: tidak boleh kerja berat-berat, bekerja secara tergesa-gesa dan mendadak,
berjalan cepat, naik-turun tangga, menyiksa binatang, tidur melingkar, duduk di
ambang pintu, etampe (makan sambil menyangga piring), san rasanan (bergunjing,
mencela, menyumpah, dan bertengkar dengan orang lain), dan bersenggama pada
hari-hari tertentu (Selasa, Rabu, Sabtu dan Minggu). Apabila
pantangan-pantangan ini dilanggar, sebagian masyarakat Madura percaya bahwa
kandungan yang nantinya akan dilahirkan
akan mengalami cacat.
2.5 Nilai yang
Terkandung Dalam Upacara Pelet
Kandung
Ada
beberapa nilai yang terkandung dalam upacara pelet
kandhung. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong royong, ketelitian,
keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya
sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini
adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti
luas).
Nilai kegotong-royongan tercermin
dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling
bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan
makanan dan minuman, menjadi pemimpin
upacara, dan lain sebagainya.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara
memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun
sesudahnya. Persiapan-persiapan itu tidak hanya menyangkut peralatan upacara,
tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus
dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan
lancar. Untuk itu, dibutuhkan
ketelitian.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu
masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk
mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan
suatu upacara. Pelet kandhung merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk
mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.
Nilai religius tercermin dalam
doa bersama yang dipimpin oleh kyae atau ulama setempat, pada acara arasol
(kenduri) yang merupakan salah satu bagian dari serentetan tahapan dalam
upacara pelet kandhung. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Tuhan.
Adapun dengan
adanya pelet kandhung ini sangat mempunyai nilai filosofi yaitu:
Ontok keselametan ibu ben anak se i kandung
( Untuk keselamatan Ibu dan Anak yang di kandung)
Ontok akumpol ben keluarga deri bhisan lake’ otabenah bhisan binik’
( Untuk berkumpulnya atau bertemu keluarga baik dari besan Laki
maupun besan besan Perempuan).
Inilah yang
menjadi filosofi adat atau tradisi madura menurut salah satu tokoh masyarakat madura di siantan
khususnya tradisi pelet khandung. Mungkin inilah menurut mereka yang menjadi
sebuah filosofi, sehingga mereka sangat menitikberatkan kata-kata ini.
DAFTAR PUSTAKA
Keesing, Roger. 1992. Antropologi Budaya Edisi ke Dua. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Mustopo, Habib. Dkk. 1984. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. Surabaya: Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar