Senin, 14 April 2014

TRADISI PELET KANDHUNG MASYARAKAT MADURA



II.                  PEMBAHASAN

2.1 Pelet Kandhung
            Secara harfiah pelet kandhung (peret kandhung, pelet betteng, salameddhan kandhungan) punya arti pijat kandungan. Pelet Kandhung adalah upacara yang diadakan ketika usia kandungan seseorang telah mencapai tujuh bulan. Sebelum upacara diadakan, pada bulan pertama saat seorang perempuan mulai mengandung, diadakan upacara nandai. Pada saat upacara nandai selesai, akan ditaruh sebiji bigilan atau beton (biji nangka) di atas sebuah leper (tatakan cangkir) dan diletakkan di atas meja. Setiap bulannya, di leper itu ditambah satu biji bigilan sesuai dengan hitungan usia kandungan perempuan tersebut. Pada saat di atas leper itu telah ada tujuh biji bigilan yang menandakan bahwa usia kandungan telah mencapai tujuh bulan, maka diadakanlah upacara pelet kandhung. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan yang disebut sebagai pelet kandhung ini diadakan secara meriah hanya pada saat seorang perempuan mengalami masa kehamilan untuk yang pertama kalinya. Pada masa kehamilan yang kedua, ketiga, dan seterusnya, upacara pelet kandhung tetap diadakan, namun tidak semeriah upacara pada saat mengalami kehamilan untuk pertama kalinya. Sebagaimana upacara pada umumnya.


2.2 Peralatan Upacara Pelet Kandhung
            Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara pelet kandhung adalah:
1)             Kain putih sepanjang 1½ meter yang nantinya akan digunakan sebagai penutup badan perempuan yang akan diupacarai pada saat dimandikan
2)             Air satu penay (belanga)
3)             Berbagai jenis bunga (biasanya 40 jenis bunga) untuk campuran air mandi. Air dalam penay dan berbagai jenis bunga (komkoman) mengandung makna kesucian dan keharuman
4)             Gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting pohon beringin yang masih ada daunnya
5)             Sebutir telur ayam yang masih mentah dan sebutir lagi yang sudah direbus
6)             Satu leper ketan kuning yang sudah masak
7)             Seekor ayam muda
8)             Minyak kelapa
9)             Kemenyan Arab
10)         Setanggi
11)         Uang logam
12)         Sepasang cengker kelapa gading yang digambari Arjuna dan Sembodro serta dibubuhi tulisan Arab atau Jawa
13)         Berbagai macam hidangan untuk arasol (kenduri) yang berupa: kue procut, ketan kuning yang dibalut daun berbentuk kerucut, jubada (juadah),    lemeng (ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan), minuman cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen).

2.3 Tahapan dan Tempat  Upacara Pelet Kandhung
Tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam upacara ini adalah sebagai berikut:
1)      Tahap pelet kandhung (Pijat perut)
2)      Tahap penyepakan ayam
3)      Tahap penginjakan kelapa muda dan telur
4)      Tahap pemandian
5)      Tahap orasol (Kenduri).
            Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan pada malam bulan purnama setelah sholat Isya, dengan pertimbangan bahwa malam bulan purnama adalah malam yang dirahmati Tuhan dan para peserta upacara telah terlepas dari rutinitas keseharian mereka.
Tempat pelaksanaan upacara pelet kandhung bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pelet kandhung, penyepakan ayam, penginjakan telur ayam dan kelapa muda, dilakukan di dalam kamar atau bilik orang yang sedang mengandung. Untuk prosesi pemandian dilakukan di kamar mandi atau di halaman belakang rumah. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun bayi (dukun beranak) dan dibantu oleh agung bine atau emba nyae (nenek dari perempuan hamil yang sedang diupacarai). Sedangkan, acara kenduri dilaksanakan di ruang tamu dan dipimpin oleh seorang kyae atau ulama setempat. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara pelet kandhung adalah ayah, ibu serta sanak kerabat dari perempuan yang hamil itu maupun orang tua dan sanak kerabat dari pihak suaminya. Di samping sanak kerabat tersebut, hadir pula para tetangga yang sebagian besar adalah perempuan dewasa atau yang sudah kawin.

2.4 Jalannya Upacara Pelet Kandung
Jalannya upacara pelet kandhung dilakukan pada hari yang telah ditentukan dan semua peserta upacara telah berkumpul di rumah perempuan yang akan diupacarakan. Upacara diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al Quran (Surat Yusuf dan Maryam) oleh para undangan laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kyai. Sementara mereka membaca ayat-ayat Al Quran, di dalam bilik perempuan yang mengandung itu mulai dilaksanakan prosesi pelet kandhung. Dukun bayi mulai memelet atau memijat bagian perut perempuan tersebut dengan menggunakan minyak kelapa. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengatur posisi bayi didalam kandungan.                    
            Saat si perempuan hamil sedang dipelet, para kerabatnya yang perempuan, mulai dari emba nyae (nenek), matowa binek (mertua perempuan), ebu majhedik (adik perempuan ayah dan ibunya), dan epar binek (saudara ipar perempuan), secara bergantian mendatangi dan mengusap perutnya sambil memanjatkan doa dan harapan agar si perempuan serta bayi yang di kandung selalu dalam lindungan Tuhan.
            Usai di pelet, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh sang dukun bayi ketempat seekor ayam yang sebelumnya telah diikat pada salah satu kaki tempat tidur. Saat berada di dekat ayam, si perempuan hamil diharuskan untuk menyepak hingga sang ayam kesakitan dan berbunyi “keok”. Selanjutnya ayam yang masih terikat itu dilepaskan dan dikurung di belakang rumah. Apabila upacara telah selesai, ayam itu akan diserahkan kepada dukun bayi sebagai ucapan terima kasih.
            Selesai menyepak ayam, perempuan hamil itu kemudian diselimuti dengan kain putih, dan diminta untuk menginjak sebutir kelapa muda dengan kaki kanan. Selanjutnya, ia diminta lagi untuk menginjak telur mentah dengan kaki kiri. Apabila telur berhasil dipecahkan, maka bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin laki-laki. Namun, apabila telur tidak berhasil dipecahkan, sang dukun akan mengambil dan menggelindingkannya dari perut perempuan hamil itu. Saat telur pecah, orang-orang yang hadir diruangan itu serentak berucap “jebing, jebing”, yang mengandung makna bahwa kelak bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin perempuan. Selanjutnya, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh dukun bayi ke belakang rumah untuk menjalani prosesi pemandian. Ia kemudian didudukkan di sebuah bangku kayu yang rendah dan di dekatnya disediakan air komkoman pada sebuah periuk tanah. Setelah itu, sang dukun bayi sambil memegang gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan ranting beringin, memasukkan uang logam ke dalam komkoman dan mulai memandikan perempuan hamil itu. Sesudah dukun selesai mengguyur, maka satu-persatu perempuan kaum kerabatnya mulai bergiliran mengguyur hingga air di dalam komkoman habis. Selesai dimandikan, ia dibawa masuk lagi ke kamarnya untuk dirias dan dipakaikan busana yang paling bagus. Kemudian, ia dibawa menuju ke ruang tamu untuk di perlihatkan kepada para hadirin. Saat itu, para hadirin akan mengucapkan kata-kata “radin, radin”, yang artinya “cantik”. Ucapan itu dimaksudkan sebagai persetujuan hadirin bahwa pakaian yang dikenakannya sudah serasi dan sesuai. Setelah itu, acara diteruskan dengan penyerahan dua buah cengker yang telah digambari Arjuna dan Sembodro kepada Kyae untuk didoakan. Setelah selesai pembacaan doa yang diamini oleh segenap yang hadir, Kyae lalu menyerakan kedua cengker tersebut kepada matowa binek untuk diletakkan di tempat tidur menantu perempuannya yang sedang hamil itu. Sebagai catatan, cengker itu tetap ditaruh di tempat tidur hingga si perempuan melahirkan bayinya. Adanya cengker di sisi tempat tidurnya, maka sejak saat itu suaminya tidak diperkenankan lagi menggauli hingga bayi yang dikandungnya lahir dan telah berumur 40 hari.
            Selanjutnya perempuan hamil itu dibawa masuk lagi ke dalam kamarnya dan diberi minum jamu dek cacing towa yang ditempatkan dalam sebuah cengkelongan (tempurung gading). Setelah jamu dek cacing towa diminum, maka cengkelongan itu segera dilemparkan ke tanean (halaman). Apabila cengkelongan jatuhnya tertelentang, maka bayi yang akan lahir diperkirakan berjenis kelamin laki-laki, sedangkan apabila tertelungkup, maka bayi yang akan lahir diperkirakan akan berjenis kelamin perempuan. Setelah itu si perempuan hamil disuapi dengan sedikit nasi ponar (nasi kuning), ketan yang diberi warna kuning dan telur rebus. Makanan itu tidak dimakan sampai habis. Dengan berakhirnya tahap pemberian nasi ponar ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara pelet kandhung.
            Sebagai catatan, sejak saat diadakan upacara nandai, pelet kandhung, hingga melahirkan, perempuan yang sedang hamil itu harus mematuhi berbagai macam pantangan, baik pantangan memakan makanan tertentu maupun pantangan melakukan perbuatan tertentu. Pantangan yang berupa makanan diantaranya adalah: pantang memakan juko lake (sejenis binatang yang bersengat), kepiting, bilang senyong, me eme parsong (sejenis cumi-cumi), daging kambing, ce cek (kerupuk rambak), petis, nanas muda, durian, tepu, mangga kweni lembayung, dan plotan lembur. Apabila pantangan ini dilanggar, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti: keguguran, bayi yang dikandung terkena saben (sawan), proses melahirkan tidak lancar, dan banyak darah yang keluar pada saat melahirkan.
            Sedangkan pantangan yang berupa tindakan atau perbuatan diantaranya adalah: tidak boleh kerja berat-berat, bekerja secara tergesa-gesa dan mendadak, berjalan cepat, naik-turun tangga, menyiksa binatang, tidur melingkar, duduk di ambang pintu, etampe (makan sambil menyangga piring), san rasanan (bergunjing, mencela, menyumpah, dan bertengkar dengan orang lain), dan bersenggama pada hari-hari tertentu (Selasa, Rabu, Sabtu dan Minggu). Apabila pantangan-pantangan ini dilanggar, sebagian masyarakat Madura percaya bahwa kandungan yang nantinya akan dilahirkan akan mengalami cacat.


2.5 Nilai yang Terkandung Dalam Upacara Pelet Kandung
            Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara pelet kandhung. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong royong, ketelitian, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas).
            Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
            Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
            Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Pelet kandhung merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.
            Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh kyae atau ulama setempat, pada acara arasol (kenduri) yang merupakan salah satu bagian dari serentetan tahapan dalam upacara pelet kandhung. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Tuhan.
           




            Adapun dengan adanya pelet kandhung ini sangat mempunyai nilai filosofi yaitu:
Ontok keselametan ibu ben anak se i kandung
( Untuk keselamatan Ibu dan Anak yang di kandung)
Ontok akumpol ben keluarga deri bhisan lake’ otabenah bhisan binik’
( Untuk berkumpulnya atau bertemu keluarga baik dari besan Laki maupun besan besan Perempuan).
             Inilah yang menjadi filosofi adat atau tradisi madura menurut salah  satu tokoh masyarakat madura di siantan khususnya tradisi pelet khandung. Mungkin inilah menurut mereka yang menjadi sebuah filosofi, sehingga mereka sangat menitikberatkan kata-kata ini.



DAFTAR PUSTAKA

Keesing, Roger. 1992. Antropologi Budaya Edisi ke Dua. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Mustopo, Habib. Dkk. 1984. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. Surabaya:            Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan         Dokumentasi kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan           Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar