I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang memiliki akal. Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir
merupakan sebuah kegiatan mental yang
menghasilkan pengetahuan. Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi
otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan
pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah merupakan sebuah
kegiatan yang menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis. Maka
dengan kemampuan berpikirnya manusia
bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersifat penyempurna
dari ilmu pengetahuan sebelumnya ataupun ilmu pengetahuan yang bersifat baru.
Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah
jika memiliki metode dan cara yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan paling
tidak ditunjang oleh tiga komponen utama: pertama adanya objek, kedua adanya
metode yang digunakan dan ketiga adanya sistematika tertentu. Jadi berpikir
ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang
berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris.
Selanjutnya agar berpikir ilmiah bisa terlaksana dan dilakukan dengan baik dan
benar tentunya harus menggunakan langkah-langkah dalam kerangka berpikir
ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana konsep dasar berpikir ilmiah?
1.2.2
Bagaimana strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa?
1.2.3
Bagaimana penerapan berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1
Mengetahui konsep dasar berpikir ilmiah
1.3.2
Mengetahui strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa
1.3.3
Mengetahui penerapan berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah
II.
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Berpikir Ilmiah
2.1.1
Definisi Berfikir Ilmiah
Berpikir adalah menggunakan
akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan menurut
Poespoprodjo berpikir adalah suatu aktifitas yang banyak seluk-beluknya,
berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah. Menurut Anita
Taylor et. Al. berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Jadi berpikir
merupakan sebuah proses tertentu yang dilakukan akal budi dalam memahami,
mempertimbangkan, menganalisa, meneliti, menerangkan dan memikirkan sesuatu
dengan jalan tertentu atau langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada sebuah
kesimpulan yang benar.
Sedangkan Ilmiah yakni bersifat
ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat kaidah ilmu pengetahuan.
Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah
apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi
yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran
dan analisa yang tajam. Berpikir rasional adalah berpikir menggunakan dan
mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia sedangkan berpikir empiris
berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang
terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera manusia.
1.2.2
Hakikat Berpikir Ilmiah
Dalam membahas pengetahuan
ilmiah, kegiatan berfikir belum dapat dimasukkan sebagai bagian dari kegiatan
ilmiah, kecuali ia memenuhi beberapa persyaratan tertentu yang disebut sebagai
pola fikir. Berfikir dengan mendasarkan pada kerangka fikir tertentu inilah
yang disebut sebagai penalaran atau kegiatan berfikir ilmiah. Dengan demikian
tidak semua kegiatan berfikir dapat dikategorikan sebagai kegiatan berfikir
ilmiah, dan begitu pula kegiatan penalaran atau suatu berfikir ilmiah tidak
sama dengan berfikir.
Ketika anak balitanya mengambil
sebuah pisau, seorang ibu langsung berusaha untuk mengambil sebilah pisau dari
si anak, karena sang Ibu berfikir pisau dapat membahayakan si anak. Kegiatan
berfikir sang ibu belum dapat dikategorikan sebagai kegiatan ilmiah karena ibu
hanya mengira-ngira atau mempergunakan perasaan dalam kegiatan berfikirnya.
Berbeda dengan seorang mahasiswa sejarah yang dengan sengaja memberikan sebilah
pisau kepada anak balita dalam rangka untuk mengetahui bagaimana sistem reflek
si batita dalam mempergunakan pisau. Mahasiswa memiliki alasan yang jelas yakni
ingin mendapatkan pengetahuan tentang kemampuan seorang anak kecil, sehingga
memungkinkan kegiatannya disebut berfikir ilmiah. Lalu apa saja yang
memungkinkan kegiatan mahasiswa sejarah disebut sebagai berfikir ilmiah karena
beberapa sebab:
Pertama, perlu dipahami bahwa
kegiatan penalaran adalah proses berfikir yang membuahkan sebuah pengetahuan.
Selain itu, melalui proses penalaran atau berfikir ilmiah berusaha mendapatkan
sebuah kebenaran. Untuk mendapatkan sebuah kebenaran, kegiatan penalaran harus
memehuni dua persyaratan penting, yakni logis dan analitis.
Syarat pertama adalah logis,
dengan kata lain kegiatan berfikir ilmiah harus mengikuti suatu aturan atau
memenuhi pola pikir (logika) tertentu. Kegiatan penalaran yang digunakan si
mahasiswa disebut logis karena ia memehuni suatu pola fikir induktifis atau
pola fikir dengan menggunakan observasi individual untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih general, dengan cara mengamati refleks si balita ketika
diberikan sebilah pisau. Syarat kedua bagi kegiatan penalaran adalah analitis,
atau melibatkan suatu analisa dengan menggunakan pola fikir (logika) tersebut di atas. Ini
berarti, jika si mahasiswa sejarah hanya melihat si anak saat diberikan sebilah
pisau tanpa melakukan analisa apa yang terjadi setelah itu dan tidak
menggunakan pola fikir induktifisme dalam analisanya, maka kegiatannya itu
belum dapat disebut sebagai sebuah penalaran atau kegiatan berfikir ilmiah.
Dari penjelasan dan contoh di
atas, dapatlah diketahui bahwa dalam proses berfikir kita sehari-hari, kita
dapat membedakan berfikir ilmiah dari kegiatan yang lain, yaitu berfikir
non-ilmiah. Pada penjelasan lebih lanjut, para filosof atau para pemikir
menyimpulkan bahwa kegiatan berfikir ilmiah didapatkan melalui rasio dan indera
(juga pengalaman) manusia sehari-hari.
Selain berfikir ilmiah,
terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat disebut
sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan intuisi dan berfikir
berdasarkan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang melibatkan
pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak
memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai
kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan
kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan
apa sebab yang menjadi dasar ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat
menyebutkannya dan hanya beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak
beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke tempat anaknya,
ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berfikir sang Ayah
mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berfikir ilmiah, karena tidak
memenuhi suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis
terdapat peristiwa ini.
Selain berfikir intuitif,
pengetahuan melalui wahyu juga tidak bisa memenuhi kegiatan penalaran.
Alih-alih menggunakan pola fikir (logika) tertentu dan analisa terhadapnya,
wahyu justru mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan bukan pada hasil aktif
manusia. Dengan kata lain, melalui wahyu, akal manusia bersifat pasif dan hanya
menerima sebuah kebenaran yang sudah ada (taken for granted) dengan
keyakinannya.
Sampai pada poin ini, perbedaan
berfikir ilmiah dari berfikir non-ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor
mendasar, yakni:
a) Sumber
pengetahuan, berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan
pengalaman manusia, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu)
mendasarkan sumber pengetahuan pada
perasaan manusia.
b) Ukuran
kebenaran, berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan
analitisnya suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan
wahyu) mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.
Uraian mengenai hakikat
berfikir ilmiah atau kegiatan penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya,
kegiatan berfikir adalah proses dasariah dari pengetahuan manusia. Darinya,
kita membedakan antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah.
Hanya saja, pemahaman kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar
atau sahih sebelum kita melakukan penyimpulan terhapat proses berfikir kita.
Karena pengetahuan sesungguhnya terdiri atas kesimpulan-kesimpulan dari proses
berfikir kita. Dengan kata lain, suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika
kita melakukan penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang
disebut logika. Dengan demikian kita sudah mendapati hubungan antara syarat
berfikir ilmiah dengan kegiatan penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu
pola pikir tertentu yang kita sebut logika.
Dilihat dari kegiatan
penyimpulannya, logika terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu logika induktif dan logika deduktif.
a) Logika
Induktif
Kegiatan penarikan kesimpulan
melalui logika ini dimulai dari kasus yang khusus/khas/individual untuk
mendapatkan kesimpulan yang lebih umum/general/fundamental. Kita tahu bahwa
gajah memiliki mata, kambing juga memiliki mata, dan demikian pula lalat
memiliki mata. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan secara induktif bahwa
semua hewan memiliki mata. Logika induktif memiliki berbagai guna bagi kegiatan
berfikir ilmiah kita, antara lain: Bersifat ekonomis bagi kehidupan praksis
manusia. Dengan logika induktif kita dapat melakukan generalisasi ketika kita
mengetahui/menemui peristiwa yang sifatnya khas/khusus.
Logika Induktif menjadi
perantara bagi proses berfikir ilmiah selanjutnya. Ia merupakan fase pertama
dari sebuah pengetahuan, yang selanjutnya dapat diteruskan untuk mengetahui
generalisasi yang lebih fundamental lagi. Misalnya ketika kita mendapatkan kesimpulan
“semua hewan memiliki mata” lalu kita masukkan manusia ke dalam kelompok ini,
bisa saja kita menyimpulkan “makhluk hidup memiliki mata”.
b) Logika
Deduktif
Logika Deduktif adalah kegiatan
penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan yang umum untuk mendapatkan
kesimpulan yang lebih khusus. Pada umumnya, logika deduktif didapatkan melalui
metode Sillogisme yang dicetuskan oleh Filosof Klasik, Aristoteles. Silogisme
terdiri dari premis mayor yang mencakup pernyataan umum, premis minor yang
merupakan pernyataan tentang hal yang lebih khusus, dan kesimpulan yang menjadi
penyimpul dari kedua penyataan sebelumnya. Dengan demikian, kebenaran dalam
silogisme atau logika deduktif ini didapatkan dari kesesuaian antara kedua
pernyataan (premis mayor dan minor) dengan kesimpulannya.
1.2.3
Ciri-ciri Berpikir Ilmiah
a) Pendapat
atau tindakannya melalui penelitian
b) Pendapatnya
sesuai kebenaran
c) Terdapat
data-data atau bukti dalam menunjukkan hasilnya
d) Tidak
berdasarkan perkiraan atau hanya sekedar pendapat
1.2.3
Manfaat Berfikir Ilmiah
a) Seseorang
yang selalu berpikir ilmiah tidak akan mudah percaya terhadap sesuatu
b) Pendapatnya
akan dapat dipercaya dan diterima orang lain
c) Dalam
memecahkan masalah tidak dengan emosi.
2.2 Strategi Pengembangan Berpikir
Ilmiah Kepada Siswa
Strategi pengembangan berpikir
ilmiah kepada siswa dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik/ilmiah. Banyak
para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat
menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna
menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses
pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran
ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu
fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis,
dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order
Thingking/HOT).
Penerapan pendekatan
saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan
bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional.
Beberapa metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip
pendekatan saintifik/ilmiah, antara lain metode: (1) Problem Based Learning;
(2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan (4) Group
Investigation. Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal
masalah, merumuskan masalah, mencari solusi
atau menguji jawaban sementara
atas suatu masalah/pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan
fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan
menyajikannya secara lisan maupun tulisan.
Teori Perkembangan Kognitif dari
Piaget yang mengatakan bahwa mulai usia
11 tahun hingga dewasa (tahap formal-operasional), seorang individu telah
memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua
ragam kemampuan kognitif yaitu: (1) Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan
berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan
menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons; dan
(2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari
materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.
Dengan demikian, tampaknya
pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran sangat mungkin untuk diberikan
mulai pada usia tahapan ini. Tentu saja, harus dilakukan secara bertahap,
dimulai dari penggunaan hipotesis dan berfikir abstrak yang sederhana, kemudian
seiring dengan perkembangan kemampuan berfikirnya dapat ditingkatkan dengan
menggunakan hipotesis dan berfikir abstrak yang lebih kompleks.
Sementara itu, Kemendikbud (2013)
memberikan konsepsi tersendiri bahwa
pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup
komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan
mencipta. Komponen-komponen tersebut seyogyanya
dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran, tetapi bukanlah sebuah siklus pembelajaran.
2.3 Penerapan Berfikir Ilmiah Dalam
Pembelajaran sejarah
Penerapan berfikir ilmiah dalam
pembelajaran sejarah dapat dilalui dengan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah
pertama dalam kerangka berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah adalah
perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan langkah yang penting karena
rumusan masalah adalah ibarat pondasi rumah atau bangunan, tempat berpijak
awal, apabila salah menentukan dan tidak jelas batasan dalam melakukan akan
menyulitkan proses selanjutnya.
Langkah berikutnya perumusan
hipotesis. “Hypo” artinya dibawah dan “thesa” artinya kebenaran. Dalam bahasa
Indonesia dituliskan hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis. Hipotesis
merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang
materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
Setelah perumusan hipotesis langkah
selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis merupakan
pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut
atau tidak. Setiap hipotesis dapat diuji kebenarannya tentu saja dengan
menggunakan bukti-bukti empiris serta teknik analisis yang secermat mungkin, karena
dengan demikian halnya, maka suatu hipotesis akan menentukan arah dan fokus
upaya pengumpulan dan penganalisaan data.
Jadi hipotesis adalah usaha untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan berhubungan serta mendukung terhadap
hipotesis yang telah diajukan sehingga bisa teruji kebenaran hipotesis tersebut
atau tidak dan hal ini sangat penting untuk dilakukan karena tanpa ada proses
pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit penelitian tersebut
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Langkah terakhir dalam kerangka
berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan merupakan salah satu
faktor yang penting dalam sebuah proses penelitian, kenapa demikian, karena
dengan kesimpulan yang ada dalam suatu penelitian akan menjawab permasalahan
yang ada dalam penelitian. Kesimpulan itu berupa natijah hasil dari penafsiran
dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian, sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan dalam perumusan
masalah.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berpikir ilmiah adalah berpikir
rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran
secara objektif, karena didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya
dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Berpikir
rasional adalah berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal
budi manusia sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas
empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada
melalui panca indera manusia.
Strategi pengembangan berpikir
ilmiah kepada siswa dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik/ilmiah. Banyak
para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat
menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan
keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna
menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses
pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah,
bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka
dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan
kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT).
Penerapan berfikir ilmiah dalam pembelajaran
sejarah dapat dilalui dengan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama
dalam kerangka berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah adalah perumusan
masalah, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan,
umumnya bagi khalayak umum yang sudah membaca makalah ini, diharapkan dapat
mengetahui konsep dasar berfikir ilmiah, strategi pengembangan berpikir ilmiah,
dan mengetahui penerapan perpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah, sehingga
dengan mengkaji hal tersebut dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan dapat
memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
dengan menerapkan cara berpikir ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
2013. Konsep Pendekatan Scientific Sejarah.
Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jujun
S. Suariasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
ijin copy ya mbak,, :) makasih
BalasHapusminta ijin mengkopi mba
BalasHapustrims...