Kamis, 18 Desember 2014

BERFIKIR ILMIAH



I.                  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal. Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir merupakan sebuah  kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah merupakan sebuah kegiatan yang menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis. Maka dengan kemampuan  berpikirnya manusia bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersifat penyempurna dari ilmu pengetahuan sebelumnya ataupun ilmu pengetahuan yang bersifat baru.
            Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah jika memiliki metode dan cara yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan paling tidak ditunjang oleh tiga komponen utama: pertama adanya objek, kedua adanya metode yang digunakan dan ketiga adanya sistematika tertentu. Jadi berpikir ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris. Selanjutnya agar berpikir ilmiah bisa terlaksana dan dilakukan dengan baik dan benar tentunya harus menggunakan langkah-langkah dalam kerangka berpikir ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana konsep dasar berpikir ilmiah?
1.2.2 Bagaimana strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa?
1.2.3 Bagaimana penerapan berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah?


1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Mengetahui konsep dasar berpikir ilmiah
1.3.2 Mengetahui strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa
1.3.3 Mengetahui penerapan berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah




II.               PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Berpikir Ilmiah
2.1.1 Definisi Berfikir Ilmiah
                 Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan menurut Poespoprodjo berpikir adalah suatu aktifitas yang banyak seluk-beluknya, berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah. Menurut Anita Taylor et. Al. berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Jadi berpikir merupakan sebuah proses tertentu yang dilakukan akal budi dalam memahami, mempertimbangkan, menganalisa, meneliti, menerangkan dan memikirkan sesuatu dengan jalan tertentu atau langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada sebuah kesimpulan yang benar.
                 Sedangkan Ilmiah yakni bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat kaidah ilmu pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Berpikir rasional adalah berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera manusia.
1.2.2 Hakikat Berpikir Ilmiah
                 Dalam membahas pengetahuan ilmiah, kegiatan berfikir belum dapat dimasukkan sebagai bagian dari kegiatan ilmiah, kecuali ia memenuhi beberapa persyaratan tertentu yang disebut sebagai pola fikir. Berfikir dengan mendasarkan pada kerangka fikir tertentu inilah yang disebut sebagai penalaran atau kegiatan berfikir ilmiah. Dengan demikian tidak semua kegiatan berfikir dapat dikategorikan sebagai kegiatan berfikir ilmiah, dan begitu pula kegiatan penalaran atau suatu berfikir ilmiah tidak sama dengan berfikir.
                 Ketika anak balitanya mengambil sebuah pisau, seorang ibu langsung berusaha untuk mengambil sebilah pisau dari si anak, karena sang Ibu berfikir pisau dapat membahayakan si anak. Kegiatan berfikir sang ibu belum dapat dikategorikan sebagai kegiatan ilmiah karena ibu hanya mengira-ngira atau mempergunakan perasaan dalam kegiatan berfikirnya. Berbeda dengan seorang mahasiswa sejarah yang dengan sengaja memberikan sebilah pisau kepada anak balita dalam rangka untuk mengetahui bagaimana sistem reflek si batita dalam mempergunakan pisau. Mahasiswa memiliki alasan yang jelas yakni ingin mendapatkan pengetahuan tentang kemampuan seorang anak kecil, sehingga memungkinkan kegiatannya disebut berfikir ilmiah. Lalu apa saja yang memungkinkan kegiatan mahasiswa sejarah disebut sebagai berfikir ilmiah karena beberapa sebab:
                 Pertama, perlu dipahami bahwa kegiatan penalaran adalah proses berfikir yang membuahkan sebuah pengetahuan. Selain itu, melalui proses penalaran atau berfikir ilmiah berusaha mendapatkan sebuah kebenaran. Untuk mendapatkan sebuah kebenaran, kegiatan penalaran harus memehuni dua persyaratan penting, yakni logis dan analitis.
                 Syarat pertama adalah logis, dengan kata lain kegiatan berfikir ilmiah harus mengikuti suatu aturan atau memenuhi pola pikir (logika) tertentu. Kegiatan penalaran yang digunakan si mahasiswa disebut logis karena ia memehuni suatu pola fikir induktifis atau pola fikir dengan menggunakan observasi individual untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih general, dengan cara mengamati refleks si balita ketika diberikan sebilah pisau. Syarat kedua bagi kegiatan penalaran adalah analitis, atau melibatkan suatu analisa dengan menggunakan  pola fikir (logika) tersebut di atas. Ini berarti, jika si mahasiswa sejarah hanya melihat si anak saat diberikan sebilah pisau tanpa melakukan analisa apa yang terjadi setelah itu dan tidak menggunakan pola fikir induktifisme dalam analisanya, maka kegiatannya itu belum dapat disebut sebagai sebuah penalaran atau kegiatan berfikir ilmiah.
                 Dari penjelasan dan contoh di atas, dapatlah diketahui bahwa dalam proses berfikir kita sehari-hari, kita dapat membedakan berfikir ilmiah dari kegiatan yang lain, yaitu berfikir non-ilmiah. Pada penjelasan lebih lanjut, para filosof atau para pemikir menyimpulkan bahwa kegiatan berfikir ilmiah didapatkan melalui rasio dan indera (juga pengalaman) manusia sehari-hari.
                 Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat disebut sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan intuisi dan berfikir berdasarkan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat menyebutkannya dan hanya beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke tempat anaknya, ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berfikir sang Ayah mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berfikir ilmiah, karena tidak memenuhi suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis terdapat peristiwa ini.
                 Selain berfikir intuitif, pengetahuan melalui wahyu juga tidak bisa memenuhi kegiatan penalaran. Alih-alih menggunakan pola fikir (logika) tertentu dan analisa terhadapnya, wahyu justru mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan bukan pada hasil aktif manusia. Dengan kata lain, melalui wahyu, akal manusia bersifat pasif dan hanya menerima sebuah kebenaran yang sudah ada (taken for granted) dengan keyakinannya.
                 Sampai pada poin ini, perbedaan berfikir ilmiah dari berfikir non-ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor mendasar, yakni:
a)      Sumber pengetahuan, berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman manusia, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan sumber pengetahuan  pada perasaan manusia.
b)      Ukuran kebenaran, berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.
                 Uraian mengenai hakikat berfikir ilmiah atau kegiatan penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya, kegiatan berfikir adalah proses dasariah dari pengetahuan manusia. Darinya, kita membedakan antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah. Hanya saja, pemahaman kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar atau sahih sebelum kita melakukan penyimpulan terhapat proses berfikir kita. Karena pengetahuan sesungguhnya terdiri atas kesimpulan-kesimpulan dari proses berfikir kita. Dengan kata lain, suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika kita melakukan penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang disebut logika. Dengan demikian kita sudah mendapati hubungan antara syarat berfikir ilmiah dengan kegiatan penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu pola pikir tertentu yang kita sebut logika.
                 Dilihat dari kegiatan penyimpulannya, logika terbagi menjadi dua  bentuk, yaitu logika induktif dan logika deduktif.
a)      Logika Induktif
                 Kegiatan penarikan kesimpulan melalui logika ini dimulai dari kasus yang khusus/khas/individual untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih umum/general/fundamental. Kita tahu bahwa gajah memiliki mata, kambing juga memiliki mata, dan demikian pula lalat memiliki mata. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan secara induktif bahwa semua hewan memiliki mata. Logika induktif memiliki berbagai guna bagi kegiatan berfikir ilmiah kita, antara lain: Bersifat ekonomis bagi kehidupan praksis manusia. Dengan logika induktif kita dapat melakukan generalisasi ketika kita mengetahui/menemui peristiwa yang sifatnya khas/khusus.
                 Logika Induktif menjadi perantara bagi proses berfikir ilmiah selanjutnya. Ia merupakan fase pertama dari sebuah pengetahuan, yang selanjutnya dapat diteruskan untuk mengetahui generalisasi yang lebih fundamental lagi. Misalnya ketika kita mendapatkan kesimpulan “semua hewan memiliki mata” lalu kita masukkan manusia ke dalam kelompok ini, bisa saja kita menyimpulkan “makhluk hidup memiliki mata”.
b)      Logika Deduktif
                 Logika Deduktif adalah kegiatan penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan yang umum untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih khusus. Pada umumnya, logika deduktif didapatkan melalui metode Sillogisme yang dicetuskan oleh Filosof Klasik, Aristoteles. Silogisme terdiri dari premis mayor yang mencakup pernyataan umum, premis minor yang merupakan pernyataan tentang hal yang lebih khusus, dan kesimpulan yang menjadi penyimpul dari kedua penyataan sebelumnya. Dengan demikian, kebenaran dalam silogisme atau logika deduktif ini didapatkan dari kesesuaian antara kedua pernyataan (premis mayor dan minor) dengan kesimpulannya.
1.2.3 Ciri-ciri Berpikir Ilmiah
a)      Pendapat atau tindakannya melalui penelitian
b)      Pendapatnya sesuai kebenaran
c)      Terdapat data-data atau bukti dalam menunjukkan hasilnya
d)     Tidak berdasarkan perkiraan atau hanya sekedar pendapat
1.2.3 Manfaat Berfikir Ilmiah
a)      Seseorang yang selalu berpikir ilmiah tidak akan mudah percaya terhadap sesuatu
b)      Pendapatnya akan dapat dipercaya dan diterima orang lain
c)      Dalam memecahkan masalah tidak dengan emosi.

2.2 Strategi Pengembangan Berpikir Ilmiah Kepada Siswa
            Strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik/ilmiah. Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT).
            Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan saintifik/ilmiah, antara lain metode: (1) Problem Based Learning; (2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan (4) Group Investigation. Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah, merumuskan masalah, mencari solusi  atau menguji  jawaban sementara atas suatu masalah/pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan.
            Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget yang  mengatakan bahwa mulai usia 11 tahun hingga dewasa (tahap formal-operasional), seorang individu telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu: (1) Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons; dan (2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.
            Dengan demikian, tampaknya pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran sangat mungkin untuk diberikan mulai pada usia tahapan ini. Tentu saja, harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari penggunaan hipotesis dan berfikir abstrak yang sederhana, kemudian seiring dengan perkembangan kemampuan berfikirnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan hipotesis dan berfikir abstrak yang lebih kompleks.
            Sementara itu, Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi tersendiri  bahwa pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Komponen-komponen tersebut seyogyanya  dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran,  tetapi bukanlah sebuah siklus pembelajaran.

2.3 Penerapan Berfikir Ilmiah Dalam Pembelajaran sejarah
            Penerapan berfikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah dapat dilalui dengan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama dalam kerangka berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah adalah perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan langkah yang penting karena rumusan masalah adalah ibarat pondasi rumah atau bangunan, tempat berpijak awal, apabila salah menentukan dan tidak jelas batasan dalam melakukan akan menyulitkan proses selanjutnya.
            Langkah berikutnya perumusan hipotesis. “Hypo” artinya dibawah dan “thesa” artinya kebenaran. Dalam bahasa Indonesia dituliskan hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
            Setelah perumusan hipotesis langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Setiap hipotesis dapat diuji kebenarannya tentu saja dengan menggunakan bukti-bukti empiris serta teknik analisis yang secermat mungkin, karena dengan demikian halnya, maka suatu hipotesis akan menentukan arah dan fokus upaya pengumpulan dan penganalisaan data.
            Jadi hipotesis adalah usaha untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan berhubungan serta mendukung terhadap hipotesis yang telah diajukan sehingga bisa teruji kebenaran hipotesis tersebut atau tidak dan hal ini sangat penting untuk dilakukan karena tanpa ada proses pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit penelitian tersebut dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
            Langkah terakhir dalam kerangka berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan merupakan salah satu faktor yang penting dalam sebuah proses penelitian, kenapa demikian, karena dengan kesimpulan yang ada dalam suatu penelitian akan menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Kesimpulan itu berupa natijah hasil dari penafsiran dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan  dalam perumusan masalah.







III.           PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Berpikir rasional adalah berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera manusia.
            Strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik/ilmiah. Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT).
            Penerapan berfikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah dapat dilalui dengan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama dalam kerangka berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah adalah perumusan masalah, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.



3.2 Saran
            Saran yang dapat disampaikan, umumnya bagi khalayak umum yang sudah membaca makalah ini, diharapkan dapat mengetahui konsep dasar berfikir ilmiah, strategi pengembangan berpikir ilmiah, dan mengetahui penerapan perpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah, sehingga dengan mengkaji hal tersebut dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menerapkan cara berpikir ilmiah.










DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Konsep Pendekatan Scientific       Sejarah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jujun S. Suariasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.

2 komentar: